Hikayat Patah Hati yang Serumit Teori Relativitas Einstein

Tapi hati yang sedang patah tak akan terobati hanya dengan kata-kata puitis pwisy senja-pwisy senja.

Hikayat Patah Hati

~ Bila hatimu patah obati di apotek terdekat

Satu malam pada medio awal 2018. Saya dalam perjalanan menuju Banda Aceh dari Lhokseumawe. Enam jam perjalanan dengan dua orang teman.

Ini perjalanan yang lambat. Kami merambat dengan pelan. Malam itu hujan turun hampir sepanjang perjalanan.

Kami tak bisa menyetir cepat, selain karena jalanan yang basah juga karena kedua teman saya—yang menyupir secara bergantian—cukup lelah setelah bekerja penuh seharian.

Hari itu mereka memang mendapat job foto kawinan di Lhokseumawe.

Yang membuat perjalanan itu berbeda adalah pembicaraan-pembicaraan di sepanjang hampir enam jam perjalanan. Obrolan mendalam yang jarang kami lakukan.

Temanya? Patah hati. Oh boy, ini tentang tiga laki-laki seperempat abad (sudah lewat, jangan ngaku-ngaku muda Anda!) membicarakan tentang hati! Haha, LOL.

Kenapa obrolan ini menjadi menarik, karena yang membuka pembicaraan saat itu adalah teman yang paling playboy dalam circle pertemanan saya.

Setidaknya, di antara lingkar pergaulan saya yang semakin ke sini semakin menyempit, dia adalah yang paling banyak (mantan) pacarnya.

Saya tak ingin bercerita tentang detailnya tapi singkatnya adalah si kawan baru mengalami patah hati. Ia baru putus dan tampak sedang begitu terpuruk-puruknya.

Mungkin ini akan sedikit seperti dalam FTV Indonesia yang menggelikan itu.

Tapi bayangkan seorang laki-laki dengan riwayat berpacaran yang banyak, curhat sambil menangis setelah ditinggalkan oleh perempuan yang entah bagaimana, begitu spesialnya.

Di dalam mobil yang bergerak pelan. Diiringi musik sendu. Dan hujan yang membasahi. Dan sorot lampu kemerah-merahan dari mobil atau motor yang saling berpas-pasan. Sangat FTV sekali, kan?

Kira-kira begitulah potongan adegan sinematik dalam perjalanan kami malam itu.

Baca Juga: Perjalanan Medona Menuju Kota Terselow dan Tersantai Sedunia

Tentu saja adegan ini akan berlebihan kalau dikenang sekarang, atau kapan pun ketika kita bisa melepaskan diri dari konteksnya.

Laki-laki playboy yang menangis karena patah hati adalah hal terburuk yang bisa kamu bayangkan. Maksud saya, bukankah itu harusnya hal paling tak mungkin terjadi setelah kucing tumbuh tanduknya?

Ini tak logis sama sekali. Kalau kamu sudah sering gonta-ganti pasangan, seharusnya, ya, tidak ada yang spesial ketika kali ini kamu harus kembali mengganti pasanganmu.

Kamu memutuskan orang berkali-kali, lalu satu kali kamu diputuskan. Itu konsekuensi logisnya, kan? Toh, itu bukan yang pertama dan mungkin juga nggak akan jadi yang terakhir.

Tapi … ini bagian menariknya.

Tak ada pernah ada yang logis ketika kita berbicara tentang hati. Sialnya, ia memang sedang jatuh cinta. Sedang memupuk harapan tentang masa depan yang indah.

Ia playboy insaf yang sedang berjuang—benar-benar berjuang—untuk memulai keluarga kecil yang ia impi-impikan.

Celakanya, hidup kadang bisa begitu brengsek dan kita dipaksa menghadapinya. Eaaa … (dengan a panjang tiga alif enam harakat).

Yang saya lihat malam itu adalah patah hati itu begitu nyata. Nyata hingga kita bisa mendengarnya dari suara yang bergetar. Nyata hingga kita bisa melihatnya dari sinar mata yang meredup.

Tentu ada adegan memberi nasihat. Yah, well, ini masih seperti adegan di FTV-FTV yang klise itu.

“Tontonlah Kapal Van Der Wijk,” kata saya. “Lihat Zainuddin yang patah hingga tak mampu menatap dunia.”

“Dan kemudian bangkit menaklukkan dunia.”

“Nggak mau aku. Nanti aku nangis lagi,” katanya.

“Ayolah, bro. Ada tujuh miliar manusia di bumi. Hampir semua pernah patah hati.”

Baca Juga: Menjadi Manusia Merdeka; Sebuah Ode untuk Hasan Di Tiro

Ada kalimat-kalimat seperti itu. Tidak persis tapi, ya, kira-kira begitulah. Pokoknya, semacam kalimat penguat agar teguh menerima kenyataan. Merelakan. Melanjutkan hidup. Move on. Dan lain-lain sebangsanya.

Walaupun, semua tahu itu tak ada gunanya.

Memang tak ada gunanya! Kalimat-kalimat di atas mungkin terdengar heroik dan menghibur. Tapi hati yang sedang patah tak akan terobati hanya dengan kata-kata puitis pwisy senja-pwisy senja.

Lah, bagaimana? Kalau lagi patah, ya, patah saja. Mau dihibur bagaimanapun juga tetap sedang patah-patahnya. Itu kan, yang membuat manusia ini menjadi unik dan begitu bernilai!

Jika kita bisa merasakan begitu pahitnya patah, kita bisa menghargai waktu-waktu yang membahagiakan. Klise sih tapi, ya, memang gitu.

Kamu boleh memberi ceramah apa pun, tapi sialnya, patah hati itu begitu universal sekaligus personal di saat yang bersamaan.

Kamu boleh menyebutnya sebagai pengalaman majemuk yang hampir pasti dirasakan semua manusia. Tapi ayolah, semua tahu begitu mendalam perasaan ini.

Dan meskipun begitu kolektifnya ia, pengalaman patah hati setiap orang tetap saja begitu intim dan berbeda.

Saya pernah melihat orang-orang yang begitu berubah sebelum dan setelah patah hati. Perubahan yang begitu drastis.

Saya pernah mendengar cerita beberapa orang yang memutuskan menjadi bujang lapuk setelah trauma dengan pengalaman romansa di masa muda.

Saya pernah mendengar cerita orang yang butuh bertahun-tahun hanya untuk memulihkan pengharapannya yang terhempas.

Well, setidaknya teman saya tidak sampai ke level itu. Itu kabar baiknya. Setelah beberapa waktu, saya melihatnya bangkit dan senyumnya jauh lebih lebar dari sebelum-sebelumnya.

Mungkin ini membuktikan bahwa hati yang patah hanya bisa terobati oleh waktu.

Masalahnya, waktu itu selalu bersifat relatif. Yang cepat bagi sebagian orang bisa begitu lambat bagi orang lainnya.

Yang bisa dilupakan dengan sigap oleh satu orang, bisa menjadi luka yang membekas begitu lama bagi orang yang lain.

Seperti halnya patah hati, perjalanan waktu begitu universal namun juga relatif pada saat yang bersamaan.

Baca Juga: Secuil Memori denganmu, Perempuan Berinisial Huruf Kelima dari Abjad

Ngomong-ngomong soal relativitas waktu, saya jadi teringat Albert Einstein. Ia memliki teori yang pernah memicu perdebatan fisikawan dunia. Teori itu dinamakan teori relativitas (waktu) yang populer dengan formula E=MC².

Tentu saja saya tak ingin memberi kuliah tentang teori itu di sini. Fisika dasar saja yang cuma 2 SKS sudah terlalu berat untuk kepala saya. Konon lagi teori yang diperdebatkan para ahli di bidangnya hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.

Itu adalah teori yang rumitnya minta ampun. Iya, rumit. Persis kayak hati.

Nah, lho!

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *