Menjaga Bumi Lewat Secangkir Kopi

Mungkin di masa mendatang, kita akan semakin rela membayar lebih untuk kopi yang diproduksi secara berkelanjutan. Sebab, dari lingkungan yang terjaga dan cita rasa yang baik, ada kebahagiaan tersendiri setiap kali menyeruputnya.

Ilustrasi perubahan cuaca di perkebun kopi

Ilustrasi perubahan cuaca di perkebunan kopi. (Resource by Freepik.com)

Sebagai salah satu Homo Sapiens yang suka mengamati hal-hal random di sekitar, belakangan ini kopi kerap nyangkut di kepalaku. Kenapa kopi? Soalnya, selain penikmat kopi, pekerjaanku sedikit banyak berkaitan dengan isu lingkungan, konservasi, dan tata kelola sumber daya alam. Jadi ya, mau tidak mau, aku ikut peduli sama isu ini.

Kalian sadar tidak, belakangan ini harga minuman dari racikan barista di beberapa coffee shop naik drastis? Walaupun ada juga yang bertahan dengan harga lama.

Terkait kenaikan harga ini, sebenarnya ada beberapa hal yang sedang terjadi di sekitar kita. Aku akan sedikit membahas dan menalarnya secara subjektif, dipadukan dengan beberapa fakta yang berkembang. Tentu saja, data dan informasi ini bisa dipertanggungjawabkan. Jadi kalian tenang saja, dan silakan seruput kopi kalian dalam-dalam.

Pertama, soal tanaman kopi. Aku yakin banyak orang sudah tahu tentang tanaman kopi yang memiliki umur panjang—bahkan bisa mencapai 50 tahun—dengan tingkat produktivitas berbeda, tergantung pada lingkungan tempat tumbuh, suhu atau iklim, pengelolaan kebun, hingga penanganan sejak sebelum dan pascapanen.

Salah satu hal yang menarik perhatianku adalah perubahan iklim alias climate change. Kenaikan suhu global belakangan ini yang mencapai 1,09 derajat Celcius, berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kopi. Mungkin terdengar sepele, tapi efeknya tidak kecil, Bree.

Sebuah penelitian menunjukkan, setiap kenaikan suhu 1 derajat Celcius dapat menyebabkan penurunan produksi kopi hingga 30,04 persen. Sementara suhu sangat rendah, antara minus 3 hingga minus 5 derajat Celcius, bisa mematikan daun kopi.

Bulan-bulan kering juga menurunkan kualitas kopi. Hasil panen yang buruk akan menghasilkan kualitas kopi yang buruk pula, sehingga berdampak pada harga jual.

Permintaan terhadap kopi berkualitas terbaik akan terus meningkat, baik di pasar lokal maupun global. Namun, menurunnya produksi kopi berkualitas membuat harga jual naik. Salah satu penyebab utama penurunan kualitas itu adalah risiko perubahan iklim yang semakin nyata.

Beberapa media melansir harga kopi Arabika Gayo saat ini berkisar antara Rp26 ribu hingga Rp119 ribu. Angka ini disebut sebagai yang tertinggi sepanjang sejarah Arabika Gayo.

Jenis Ceri Merah (gelandang) berada di kisaran Rp26 ribu per bambu. Green beans atau kopi beras asalan dibanderol Rp119 ribu per kilogram, dengan kadar air dan terase 15 persen.
Sementara kopi olahan Arabika premium dijual antara Rp120 ribu hingga Rp279.999 per kilogram, dan kopi luwak berada di rentang Rp52 ribu sampai Rp900 ribu, tergantung jenisnya.

Faktor Lokal & Global

Dari kondisi tersebut, perubahan harga kopi, baik naik maupun turun, bisa dipengaruhi oleh faktor global dan lokal. Faktor global meliputi cuaca ekstrem di negara produsen utama seperti peningkatan gelombang panas di Brasil dan Vietnam. Kemudian fenomena perubahan iklim di beberapa negara berdampak pada pasokan dan harga jual kopi. Sebab, ketersediaan stok kopi dunia yang rendah memicu kenaikan harga.

Faktor lokal, khususnya di dataran tinggi Gayo, mencakup panen dan produksi yang menurun akibat cuaca dan iklim. Produksi turun, sementara permintaan lokal meningkat—jadilah harga melonjak.

Lalu bagaimana dampaknya bagi petani kopi?

Tentu ada sisi positif. Pemilik kebun bisa menikmati keuntungan dari kenaikan harga. Pekerja harian di kebun kopi semoga juga ikut mendapat kenaikan upah, dengan catatan pembelian dilakukan langsung dari petani tanpa melalui perantara seperti calo atau pengusaha besar.

Beberapa data menunjukkan harga pembelian langsung dari petani kini berada di kisaran Rp20–23 ribu, tergantung kualitas. Produksi kopi Gayo tahun ini memang menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Banyak biji kopi cacat, diduga akibat perubahan iklim dan serangan hama.

Jasa Lingkungan

Kedua, aku juga ingin menyinggung hubungan antara perubahan iklim, lingkungan, harga kopi, dan dampaknya bagi pelaku usaha kopi (coffee shop), serta potensi penerapan konsep payment for environmental services.

Kalian tau Bree, sebelumnya beberapa coffee shop di Aceh masih memakai kemasan sekali pakai, sehingga produksi sampah plastik meningkat. Penggunaan listrik dan air pun sering berlebihan.

Sekarang, sudah banyak yang mulai peduli pada lingkungan berkelanjutan dan pelestarian keanekaragaman hayati. Beberapa pengusaha coffee shop berinovasi dalam nilai bisnis mereka yang memiliki nilai tambah terhadap alam. Mereka sudah melihat aspek pelestarian lingkungan berpeluang memberikan nilai tambah terhadap jasa lingkungan dan bisnis, seperti praktik pengelolaan limbah yang baik serta daur ulang sampah plastik dan ampas kopi yang dihasilkan.

Ada yang menerapkan sistem reusable cup dengan potongan harga bagi konsumen yang membawa tumbler, demi mengurangi pemakaian kemasan sekali pakai atawa plastik. Ada pula yang beralih ke kemasan ramah lingkungan dari bahan mudah terurai. Tidak kalah keren, ada juga pemilik coffee shop yang memberikan sekian persen hasil penjualan kopi untuk konservasi satwa liar di Aceh.

Lalu, apa keuntungan dari bisnis yang memberikan nilai jasa lingkungan semacam itu?

Mungkin tidak seberapa dan belum terasa langsung dalam waktu singkat untuk kita rasakan dan nikmati. Lagi pula, jumlah coffee shop yang melakukannya masih sangat sedikit. Jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Ini pun cuma jari sebelah tangan, bahkan mentok antara kelingking sampai telunjuk saja.

Huff! Mendadak berhasrat berkampanye seperti caleg dan mengajak petani kopi, pemilik kebun, owner coffee shop, pelaku bisnis kopi lainnya dan tentu saja konsumen penikmat kopi untuk memberikan perhatian spesial tentang hal ini.

Namun, ada peluang jangka panjang. Sependek pengetahuanku, pelaku bisnis kopi terutama coffee shop akan mendapatkan beberapa peluang dampak dari perhatian mereka terhadap jasa lingkungan. Salah satunya, pasar.

Kesadaran generasi muda—baik Gen Z maupun milenial—tentang isu lingkungan semakin meningkat. Sebagai penikmat kopi, mereka cenderung memilih produk dan tempat yang sejalan dengan nilai keberlanjutan. Artinya, model bisnis berkelanjutan dapat memperkuat citra positif dan memberikan keunggulan kompetitif.

Selain itu, aksi peduli lingkungan ini bisa mendukung target Forest and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030, yang harus tercapai dalam lima tahun ke depan. Soal kaitannya dengan FOLU, aku bahas di tulisan lain ya—topiknya lumayan berat 😀

After all, dengan kondisi harga kopi saat ini, perubahan iklim, dan dinamika bisnis kopi yang makin cepat berkat kreativitas para pelaku usaha, semuanya akan berpengaruh pada para penikmat kopi seperti aku dan kamu. Mungkin di masa mendatang, kita akan semakin rela membayar lebih untuk kopi yang diproduksi secara berkelanjutan. Sebab, dari lingkungan yang terjaga dan cita rasa yang baik, ada kebahagiaan tersendiri setiap kali menyeruputnya.

Jadi, manfaat lingkungan tentu akan mendukung produksi kopi yang lebih ramah alam. Hal ini bisa membantu mencegah dan mengurangi degradasi hutan menjadi lahan perkebunan kopi. Produk kopi yang diracik secara bertanggung jawab juga memberi nilai kepuasan tersendiri bagi penikmatnya. Ada rasa bangga saat tahu kopi yang diseduh berasal dari proses yang menjaga alam. Bagi petani, hal ini bisa menjadi insentif untuk terus menerapkan praktik berkelanjutan dan memulihkan fungsi hutan di lahan kopi mereka.

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *