Bagi generasi milenial peringatan 20 tahun damai Aceh sekilas seperti mengenang perjalanan kehidupan yang dilalui dalam beberapa fase. Jika dihitung usia generasi milenial saat ini, adalah mereka yang telah hidup di usia 30 hingga 40-an ke atas. Tentu mereka sudah ikut merasakan beberapa fase perjalanan atas segala kondisi dan pengalaman hidup di Bumi Serambi Makkah. Mulai dari perang, Daerah Operasi Militer alias DOM, referendum, gempa bumi dan tsunami hingga pandemi Covid-19.
Jika dihitung dari usia kategori milenial, mereka hidup dalam rentang tahun 1981 hingga 1996. Fase konflik mulai dirasakan dalam tahun 1976 setelah pendeklarasian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) oleh Teungku Muhammad Hasan di Tiro. Setelah munculnya GAM, eskalasi perang GAM dan TNI terus memuncak hingga ke pelosok Aceh.
Sejak saat itu, operasi militer merebak di sejumlah wilayah Aceh. Masyarakat Aceh, terutama para pemuda hidup dalam bayang-bayang letupan bedil yang saban waktu membuat aktivitas masyarakat terhenti. Mereka yang sedang mencari nafkah, berkebun, bertani, berdagang di pasar-pasar, terutama di gampong-gampong, terpaksa mengurung diri di rumah demi menghindari kontak senjata.
Di sisi lain, kontak senjata membuat para milenial yang kala itu masih berseragam sekolah menjadi hal “menggembirakan”. Sekolah diliburkan agar para siswa tidak terkapar akibat peluru nyasar. Atau gara-gara granat yang tiba-tiba mencelat di rumput pekarangan sekolah.
Yang lebih “riang” lagi tentunya para siswa yang sekolahnya “terbakar”. Agar tak menuduh salah satu pihak kita sebut saja sekolah-sekolah itu terbakar akibat semburan bola api bala tentara naga gerombolan Night Fury yang kerap menyerang permukiman Viking Berk.
Bukan main absurdnya!
Memang, tak sedikit sekolah-sekolah di Aceh yang terbakar. Di sisi lain, beredar pula larangan—entah dari siapa—siswa pergi ke sekolah seusai kontak senjata. Hati para siswa—yang kini mulai ubanan—itu makin senang.
Selain pendidikan, perang di Aceh era 90-an cukup membuat banyak infrastruktur seperti jembatan, jalan, dan lampu-lampu hancur lebur karena bahan peledak. Situasinya hampir mirip Irak setelah diserbu bani Amerika Serikat.
Jika Ramadan tiba, anak-anak di Aceh kala itu tak butuh jam weker untuk alarm bangun sahur. Suara tembakan senjata sudah cukup bikin kelopak mata terbuka lebar diiringi jantung dag-dig-ser! Kadang pula, “menu” sahur diselingi tam-tum yang membahana. Bunyi dentuman yang mungkin membuat para kodok menyesal tinggal di Aceh.
Bagi sebagian warga Aceh, situasi itu sudah menjadi hal yang biasa. Kadang kala, tak ada ketakutan lagi pun yang mereka rasakan. Hanya doa kepada Allah terbesit dalam hati agar kontak senjata tak pernah terjadi lagi.
Kala referendum digelar pada 1999, semua sekolah dan aktivitas masyarakat kembali terhenti. Semua kendaraan, mobil, becak, motor menuju ke Banda Aceh ke Masjid Raya Baiturrahman, katanya menuntut sejumlah hak kepada Pemerintah Indonesia.
Suasana di gampong-gampong pun sunyi senyap dalam beberapa hari. Di jalan-jalan tak ada labi-labi dan becak melintas, mirip suasana lockdown ketika pandemi Covid-19. Saya pernah pulang dari sekolah ke rumah berjalan kaki yang jaraknya sekitar 3 kilometer. Di bawah terik matahari siang, mau tak mau raga ini harus berpacu dengan aspal jalanan agar cepat sampai di rumah.
Era Milenium
Masa-masa menjelang tahun 2000-an atau era milenium, di saat daerah lain mulai menanjak menuju kemajuannya masing-masing, Aceh masih bergelut dalam suasana konflik yang semakin memuncak. Eskalasi ini dipicu dari kebijakan pusat. Indonesia yang saat itu dipimpin Megawati Soekarnoputri menambah armada militer ke Aceh. Aceh kembali diberlakukan darurat militer.
Situasi tersebut membuat Aceh kian larut dalam konflik yang mulai menelan korban sejumlah tokoh seperti dari kalangan GAM Allahuyarham Teungku H Abdullah Syafi’i. Teungku Lah syahid pada 2002 di kawasan Jiem-Jiem Pidie.
2004, menjadi duka sekaligus rahmat bagi rakyat Aceh. Pukul 08.00 pagi bencana besar menghantam bumi tanah para aulia, yakni gempa bumi dan tsunami. Getaran gempa telah dicatat oleh ahli di bidang geofisika baik di nasional dan Internasional sebesar 9,8 SR.
Musibah itu tak hanya menguncang wilayah Aceh, tapi juga Nias di Sumatra Utara, hingga Sri Lanka. Menurut Tempo.co, korban gempa bumi dan tsunami di Aceh tercatat 250 ribu jiwa. Kerusakan materiil dan infrastrukstur mencapai Rp51 triliun. Masa-masa ini menjadi duka baru bagi warga Aceh yang belum sembuh dari balutan konflik.
Di balik itu semua, setahun setelah gempa dan tsunami, secercah kasih sayang Allah SWT menyirami Bumi Serambi Makkah. Pemerintah Indonesia dan GAM sepakat mengakhiri konflik yang berkepanjangan. Bertempat di gedung Smolna, Finlandia, GAM dan RI disaksikan tokoh-tokoh dan sejumlah negara-negara di dunia menandatangani lembaran kesepahaman perdamaian yang disebut Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Sejak saat itu, konflik di Aceh ibarat hilang disapu angin perdamaian. Sejumlah tokoh-tokoh Aceh di luar negeri akhirnya pulang ke Aceh, berbaur dengan masyarakat.
Sejak 2005 dan seterusnya, Aceh hidup dalam kesepahaman dengan pemerintah pusat dan diberikan hak kewenangan menjalankan pemerintahan daerahnya. Gubernur Aceh dipimpin oleh orang Aceh sendiri, sistem pemerintahannya juga berlandaskan syariat Islam yang tertuang dalam Qanun. Aceh juga turut diberi kewenangan khusus yang tertuang dalam suatu legitimasi yakni Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA).
Dalam tahun-tahun Aceh berada pada tatanan sebuah provinsi khusus menjalankan pemerintahan daerahnya sendiri, musibah datang lagi. Kali ini, tidak hanya Aceh yang merasakan tapi hampir semua wilayah seluruh dunia sejak 2019.
Fenomena aneh ini dipicu kondisi global, banyak yang menganggap sebuah kontroversi dan konspirasi, tapi apalah daya kondisi ini telah membuat dunia berhenti aktivitas terhenti. Para elit dunia menyebut pandemi Covid-19, sebuah wabah yang tersebar dari suatu daerah dari Negeri Tirai Bambu, Cina.
Ekses dari wabah itu, perekonomian dunia ambruk, aktivitas masyarakat juga dibatasi alasan kondisi kesehatan dari penyebaran wabah tersebut. Aceh baru saja jalan tertatih bangkit dari keterpurukan mencoba bersama bergandengan tangan dengan Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan fenomena tersebut. Protokol lockdown diberlakukan, seluruh aktivitas masyarakat di luar rumah dihentikan. Tak hanya Indonesia seluruh negara di dunia juga menerapkan aturan protokol kesehatan tersebut.
Dua puluh tahun damai adalah anugerah sekaligus ujian bagi Aceh. Seperti seorang pahlawan yang pulang dari medan perang, Aceh telah menempuh jalan panjang untuk berdiri kembali. Bekas luka di tubuhnya adalah saksi bisu tentang harga yang pernah dibayar—luka yang tak perlu dibuka lagi, karena darah yang tumpah sudah menjadi bagian dari sejarah.
Hari ini, tugas kita bukanlah mengibarkan kembali panji masa silam demi meniup bara lama, melainkan menegakkan bendera masa depan. Masa di mana generasi Aceh tak perlu lagi menutup telinga agar tidak diganggu salakan senjata. Masa di mana irama kemajuan berpadu dengan pendar cahaya perdamaian yang tak pernah padam.